Jumat 1 oktober 1993
HARIAN UMUM REPUBLIKA

Membangun Pesantren Dari Praktik Pengobatan Tradisional

Setiap sore, ruangan seluas 3 x 6 meter di bagian depan sebuah rumah di Gang Pesantren 143/88, Jalan Pagarsih, Bandung, selalu ramai oleh pengunjung. Mereka ada yang mengidap penyakit maag, tumor / kanker (payudara dan rahim), amandel/polip, lemah syahwat / impoten, liver/ hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, diabetes / gula, reumatik / encok, keputihan, ginjal, batu / cuci darah, wasir, prostat (kandung kencing), paru-paru, epilepsy / ayan, gegar otak, hingga HIV AIDS. Sepasang suami istri lalu memanggil mereka satu per satu. Para pasien itu ada dipijat refleksi dan ada yang cukup diberi sebungkus kapsul setelah dilakukan konsultasi.

Itulah yang dilakukan oleh Drs. H. C. Najmuddin H.S. dan isterinya, Djamilah, dalam melakukan pengobatan berbagai penyakit. “Semua penyakit ada obatnya, kecuali penyakit ketuaan,” ujar Najmuddin yang biasa dipanggil tabib oleh masyarakat setempat. Panggilan tabib itu dialamatkan kepadanya, karena memang ia bukanlah seorang dokter, dalam arti mempelajari ilmu kesehatan di universitas. Ia melakukan berbagai penyembuhan itu, diantaranya lewat berbagai ramuan tradisional, yang bahannya berasal dari jenis nabati dan hewani.

“Beberapa bahan ramuan obat, saya dapat dari Timur Tengah, yang kemudian saya ramu menurut petunjuk Kitab Klasik Attibun Nabawi yang juga saya padukan dengan ramuan obat tradisional Indonesia,” jelas Najmuddin. Ramuan itu, lanjutnya, setelah dipilah-pilah lalu dimasukkan ke dalam kapsul, buat memudahkan peminumnya. Meski hingga kini ia masih merahasiakan ramuannya, namun praktik pengobatan suami istri tadi adalah resmi, dalam arti mempunyai izin praktik dari yang berwenang.

Menurut Najmuddin, pengobatan yang dilakukannya adalah dengan cara-cara medis biasa. Artinya, lebih dahulu ia melakukan konsultasi dengan pasien, lalu mendiagnosis macam penyakit. Berikutnya, bila diperlukan, ia melakukan pijat refleksi dan kemudian memberi pasien beberapa bungkus kapsul ramuannya sendiri. Untuk pijak refleksi, si pasien atau keluarganya bisa melakukan sendiri, setelah diajari oleh Najmuddin atau isterinya.
Dari praktik pengobatannya selama ini, Najmuddin mengakui bahwa tak sedikit pasien yang datang kepadanya, sebenarnya tak pengidap penyakit yang serius. Dengan kata lain, mereka secara fisik segar bugar, hanya jiwanya yang terganggu. Untuk pasien seperti ini, maka penyembuhan yang dilakukan adalah melalui pendekatan kejiwaan, diantaranya dengan menyelipkan nasihat-nasihat keagamaan. Bahkan, setiap datang waktu shalat, semua pasien yang beragama Islam ia ajak shalat berjamaah.

Hasilnya, pasien yang jarang atau malah tak pernah shalat, menjadi rajin beribadah. Suami istri yang biasanya sering bertengkar, menjadi harmonis. Seorang anak yang sebelumnya badung, menjadi anak yang taat kepada orang tua, dan begitu selanjutnya. “Praktik pengobatan yang saya lakukan, sebenarnya adalah bagian dari dakwah,” ujar Najmuddin yang mengaku hasil semua praktik pengobatannya digunakan untuk membiayai
pembangunan pesantren.

Secara Kebetulan

Boleh dikata, praktik pengobatan yang dilakukan Najmuddin sekarang ini, sebenarnya bukanlah cita-citanya ketika kecil. Keahlianya mengobati orang, ia peroleh secara kebetulan.

Sebagai anak dari seorang haji –ayahyna H. Sopandi dan ibunya, Hj. Aisyah—Najmuddin yang lahir di Cimanggu, Sukabumi, 2 mei 1948 ini, sejak kecil sudah dimasukkan ke sekolah agama. “Tokoh idola waktu kami kecil di kampung dulu, adalah seorang tokoh masyarakat yang biasanya juga seorang ahli silat,”kenang putra kelima dari sembila saudara ini.

Membangun Pesantren Dari Praktik Pengobatan Tradisional

Membangun Pesantren Dari Praktik Pengobatan Tradisional

Karena itu, beberapa bulan sebelum mondok di Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, ia dikirim ayahnya mempelajari ilmu silat di Banten, Jawa Barat. Dan ternyata ilmu bela dirinya ini sangat bermanfaat ketika ia diserahi tugas sebagai anggota keamanan di Pondok Gontor. Apalagi pada pertengahan tahun 1960-an itu, situasi di Ponorogo sedang memanas akibat kekejaman PKI. Bila ia tidak menguasai ilmu silat, ia tentu saja akan mudah dibekukan para gerombolan komunis itu.

Setelah lulus dari Pondok Gontor, Najmuddin lalu menimba ilmu agama di Pondok Pesantren Bangil, Malang, Jawa Timur. Dari sana, ia kemudian meneruskan kuliah di Unisba (Universitas Islam Bandung). Ilmu keislaman Najmuddin, selanjutnya lebih dimanfaatkan lagi ketika ia mendapatkan beasiswa untuk belajar beberapa tahun di Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia.

Sekembalinya ke tanah air, Najmuddin lalu kembali ke almamaternya, Unisba, menjadi dosen. Dan pada waktu yang sama, ia juga sering masuk keluar kampung untuk memberi santapan rohani. Bahkan ketika almarhum K.H. E.Z. Muttaqien masih hidup, yang waktu itu menjabat sebagai Rektor Unisba dan Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia), sering menugaskan Najmuddin untuk mewakilinya dalam beberapa pengajian di berbagai tempat.

Suatu ketika pada tahun 1989, datanglan malapetaka itu. Berbagai penyakit, seperti maag, tifus, dan lever secara serentak melumpuhkan kesehatannya. Akibatnya, ia harus berhenti dari segala aktivitasnya selama lebih empat bulan.

Anehnya, mesji Najmuddin merasakan sakit di beberapa bagian tubuhnya, namun tak seorang dokter pun yang tahu obatnya. Atau kalau merek tahu, namun hasil diagnosa antara satu dokter dengan lainnya selalu berbeda.

Di tenah “keputusasaannya” itu, Najmuddin lalu membuka buku-buku klasik yang ia beli ketika belajar di Madinah. Di antaranya adalah buku-buku ‘Attibun Nabawi (Pengobatan Nabi) yang memberi petunjtuk tentang berbagai ramuan obat yang digunakan Rosulullah untuk keperluan penyembuhan. Ia lalu mencoba meramunya sendiri bahan-bahan yang disebutkan buku-buku itu. “Setelah dicoba ramuan itu, secara berangsur-angsur penyakit Abi (panggilan akrab Najmuddin) sembuh,”ujar Djamilah, istri Najmuddin.

Sejak itu satu dua orang tetangga yang telah mendengar tentang cara pengobatan Najmuddin, meminta tolong untuk penyembuhan penyakit serupa. Ternyata juga manjur. Akhinya melalui mulut ke mulut, banyak pasien yang datang kepada Najmuddin.

Membangun Pesantren

Sebagai orang yang sejak mula berkecimpung dalam dakwah, maka di luar praktik pengobatan, ia selalu aktif berdakwah, termasuk mengawasi Pesantren Darul Ihsan yang berlokasi di Kampung Cimanggu, Desa Ciheulang, Cibadak, Sukabumi. “Sebagai anak laki-laki, kamu boleh sekolah di mana saja. Tapi ingat, kelak setelah kembali, kamu harus bangun kampung sendiri,” ujar Najmuddin, menirukan nasihat yang diberikan ibunya sebelum berangkat kuliah ke Madinah. Nasihat ituah yang kemudian mendorongnya untuk mendirikan pesantren di kampung halamannya.

Pesantren yang didirikan beberapa tahun lalu itu, pada tahap pertama menempati tanah warisan orang tuanya. Baru pada tahap berikutnya, tahap perluasan, berbagai bangunan menempati lokasi yang dibeli dari masyarakat sekitar. Kini Pesantren “Darul Ihsan” telah memiliki enam lokal untuk belajar dan dua lokal untuk asrama putri serta ruang penunjang lainnya. Sedangkan asrama putranya masih dalam tahap pembangunan, sehingga untuk sementara menyewa rumah penduduk.

Mengingat Najmuddin adalah alumnus Gontor, maka lembaga yang didirikannya sedikti banyak juga terpengaruh oeh cara pendidikan Gontor, di samping setiap santri ditekankan mendalami tafsir Alquran. Sebagai contoh, kendatipun jenjang pendidikan yang diselenggarakan adalah tingkat Tsanawiyah dan Aliyah, namun materi kebahasaan (Arab dan Inggris) sangat ditekankan.

Untuk pengelolaan sehari-hari, lembaha itu dipercayakan kepada adik kandung Najmuddin, yang juga alumnus Gontor dan Inisi (Institut Islam Siliwangi), Ustadz Aef Saefuddin. “Melihat kondisi pesantren yang masih dalam tahap pembangunan, maka praktik pengobatan yang kami lakukan sepenuhnya untuk membiayai lembaga itu. Karena itu bagi yang mampu para pasien diharapkan menginfakkan hartanya untuk pembangunan pesantren. Sedangkan, untuk biaya pengobatan hanya diminta pengganti obat saja. Harga per paket, obat diantara Rp. 15.000-Rp.30.000,-“ ujar Najmuddin, bapak tiga putra dan seorang putri itu. Semesta kenyataan hidup ini adalah kesibukan berbuat menurut Allah SWT, semoga kita pun demikian adanya. Amin.Mushoffi hassan.

liputan REPUBLIKA 1 Oktober 1993 halaman 16

liputan REPUBLIKA 1 Oktober 1993 halaman 16