Harian Umum Bandung Pos
Sabtu 14 Mei 1994 3 Dzulhijah 1414H Halaman 2

Drs. H. C. Najmudin, Dekan Fak. Tarbiyah Unisba
GELUTI PENGOBATAN TRADISIONAL DENGAN BEKAL IMAN DAN TAKWA

Bacalah. Itu yang selalu ditekankan pada dirinya, dimanapun dan kapan pun. Itu pula yang akhirnya mengantarkan Drs. H.C. Najmuddin HS menekuni pengobatan tradisional. Ilmu yang diperolehnya, semua ditimba dari sekian banyak buku, baik buku klasik maupun modern. Pria kelahiran Sukabumi 2 Mei 1948, yang menikahi wanita keturunan Mesir – Jawa, Djamilah tahun 1975 ini, sejak enam tahun lalu menangani pasien yang datang dengan berbagai penyakit.

Darah Mesir yang dominan mengaliri raut wajah Djamilah yang putih bersih, layaknya orang MESIR, berayah Tn. Salmin Alyazidi (dari Mesir) dan Ny. Badriyah (asli Jawa), lahir di Bumiayu Jateng, 18 April 1950.
“Ketika sekolah dulu di Saudi Arabia, tepatnya di Universitas Madinah, saya membaca buku tentang pengobatan tradisional yang kesemuanya memuat resep sejak zaman Rosulullah S.A.W,” kenang Najmuddin.
Selain ilmu yang diperolehnya dari buku tersebut, dia pun membawa ramuan-ramuan yang ditemukannya itu ke Indonesia. Di Arab Saudi, sempat pula dia diskusikan dengan paman istrinya yang menetap di Arab Saudi.
Seakan sudah menjadi nasibnya, sepulangnya dari Madinah, Najmuddin jatuh sakit selama empat bulan.

Dokter mengatakan kalau sakit yang dideritanya maag yang telah kronis. Akhirnya, dia menyurus istrinya untuk meramu bahan-bahan yang dibawanya dari Arab Saudi, “Alhamdulilah, ternyata sembuh,” kata Dekan Fakultas Tarbiyah Unisba ini.

Setelah berhasil mengobati diri sendiri di tahun 1988 akhir, Najmuddin coba memberinya obat serupa kepada seorang temannya yang juga mengidap penyakit maag. Berkat Ridha Allah, maka si temannya itu sembuh.
Dan, sejak itulah banyak orang yang datang pada Najmuddin meminta obat yang sama.

Hingga akhirnya berita itu tersebar luas dari mulut ke mulut. Pasien pun datang dengan berbagai macam penyakit. Tak ayal, persediaan obat yang telah diramunya juga habis dalam waktu singkat.
Untuk lebih memperdalam akan khasiat bahan-bahan yang dibawanya itu, ayah dari Eva Najiniyah, Muhammad Iqbal, Muhammad Ramadlan dan Muhammad rido ini membaca kembali buku tersebut. Dia pun lantas membawa lagi bahan-bahan ramuan dari Madinah.

“Soalnya, dulu bahan-bahan tersebut sulit didapatkan disini. Tapi sekarang hampir 70% bahan tersebut bisa diperoleh. Bahkan saya menanamnya sendiri di tiga tempat, yait Cianjur, Sumedang dan Cilengkrang – Ujungberung, Bandung,” ungkap dosen P.A.I Unisba ini.

Bahan-bahan yang digunakan untuk mengobati pasiennya berasal dari nabati dan hewani. Dari Nabati berupa rumput-rumputan dan akar-akaran. Sedangkan hewani dari minyak Unta yang masih diimpornya dari Arab saudi.

Bahan tersebut dia olah bersama istrinya. “Saya punya alatnya, dan enam orang asisten yang membantu mengolah bahannya. Tapi dalam proses pengolahan akhir saya dan istri yang melakukannya. Hasilnya dalam bentuk kapsul, tablet dan sirup. Ini dilakukan karena takarannya harus tepat. Kalau tidak resikonya besar. Saya tidak sembarangan membuat, sudah jadi pun saya cicipi terlebih dahulu untuk mengetahui ketepatannya,” papar pria yang punya hobi mancing ini.

Obat yang dibuatnya itu kini bisa menyembuhkan berbagai penyakit, antara lain maag, tumor (kanker), amandel (polip), lemah syahwat (impoten), liver ( hepatitis B, hepatitis C ), diabetes (gula), reumatik (encok), keputihan, ginjal batu cuci darah, ambeyen, prostat (kandung kencing), paru-paru, hipertensi (darah tinggi), epilepsy bahkan HIV AIDS.

GELUTI PENGOBATAN TRADISIONAL DENGAN BEKAL IMAN DAN TAKWA

GELUTI PENGOBATAN TRADISIONAL DENGAN BEKAL IMAN DAN TAKWA

Selain obat yang menjadi alat bantu pengobatannya, dia dan istrinya menggunakan stetoskop, kayu sebesar telunjuk tangan, dan menggunakan jari jemarinya untuk melakukan pijat refleksi. Pasien-pasiennya berdatangan dari seluruh penjuru negeri ini, dari Sabang sampai Merauke. Pasien dari Asia, seperti Malaysia, Singapura, Brunei juga berdatangan. Mereka memperoleh informasi dari media massa. Bahkan pasiennya ada yang berasal dari Amerika, salah satunya Kirk Parpin dan pasien yang berasal dari Saudi Arabia, mereka mendapatkan informasinya melalui saudara-saudara istrinya djamilah yang menetap di sana.

Pada hari-hari biasa pasien yang datang antara 20-25 orang, sedang hari Sabtu dan Minggu 40-50 orang. “Bahkan pernah mencapai 80-102 orang,” kata Najmuddin. Pasiennya pun datang dari berbagai kalangan. Dari foto-foto yang sempat BP liat, ada aktor El Manik dan beberapa orang musisi. Bahkan foto beberapa pejabat tinggi di tanah air ada disana.

“Tidak ada rasa capek dalam bekerja. Karena semuanya saya lakukan atas dorongan iman dan ibadah. Semua itu kami lakukan dengan rasa bahagia. Pekerjaan itu harus dicintai jangan dihadapi dengan stres,” kata Djamilah yang sempat mengenyam pendidikan di STBA Bandung ini.

Pesantren modern
Suami-istri ini senantiasa menekankan pendidikan agama kepada anak-anaknya, terutama sholat berjamaah dan melakukan pengajian bersama setelah sholat Magrib. Kecuali itu, keluarga ini selalu menyempatkan makan bersama meski sesibuk apa pun.

“Kedisiplinan kami terapkan juga dalam mengatur keuangan. Bagi anak-anak yang telah memasuki kelas dua SD, kami berikan uang sakunya seminggu sekali. Cukup tidak cukup untuk seminggu, per harinya saya beri Rp. 500 per orang. Kalau pun kurang mereka suka meminta lagi dengan alasan yang bisa diterima,” papar Ibu yang punya motto hidup: hanya dengan dorongan iman yang bisa mengantar kehidupan bahagia dunia akhirat.
Penghasilan yang diperolehnya dari pengobatan tersebut, mereka salurkan untuk pembangunan Pesantren Modern Darul Ihsan di Sukabumi. Pesantren itu didirikan bersamaan waktunya dengan dibukanya praktek pengobatan tradisional tahun 1988.

“Setiap hari komunikasi yang dipergunakan oleh para siswa di pesantren Darul Ihsan menggunakan bahasa Arab dan Inggris. Tenaga pengajar yang ada sebanyak 24 orang dengan 142 orang siswa,” kata ketua Yayasan Pesantren Darul Ihsan ini.

Kemoderenan pesantrennya dibuktikan dengan diberinya kebebasan bagi para santri-santrinya untuk mendalami bidang kesenian, olah raga, keterampilan jahit menjahit, beternak dan berkebun.
Pesantren yang didirikan diatas tanah warisan kedua orang tuanya, merupakan hasil kerjasama Najmuddin dan adiknya. Sumbangan untuk pesantren mereka peroleh juga dari Departemen Sosial berupa mesin jahit.
“Minggu besok (15/5) ada orang Quwait yang akan menyumbang Rp. 25 juta untuk pembangunan masjid,” kata Najmuddin dengan wajah berbinar. Semesta kenyataan hidup ini adalah kesibukan berbuat menurut Allah SWT, semoga kita pun demikian adanya. Amin. (dwi)

Liputan Bandung Pos 14 Mei 1994

Liputan Bandung Pos 14 Mei 1994