MINGGU III – 21 APRIL 1991
BANDUNG POS HAL. 7

Berobat Sambil Beramal Lewat Pengobatan Tradisional

Pondok pesantren yang sedang dibangun itu kini masih menunggu biaya yang tidak sedikit, tetapi harapan untuk mencapai rencana yang sudah lama diimpikannya itu masih tetap besar. Kami masih tetap optimis rencana itu akan menjadi kenyataan walaupun agak lambat tapi pasti”.

Kalimat itu keluar dari mulut Ny. Djamilah didampingi suaminya Drs. H.C. Nadjmuddin HS, yang dikenal sebagai ahli pengobatan tradisional berbagai penyakit, saat ditemui BP-Minggu di rumahnya sekaligus tempat praktek pengobatannya Gg. Pesantren 143/88 Jl. Pagarsih Bandung. Mereka kemukakan hal ini seolah ingin membuktikan kepada pasiennya dan masyarakat yang pernah dan akan menyumbang sebagian hartanya untuk membantu biaya pembangunan Pondok Pesantren Modern.

Pondok Pesantren yang dikelola Yayasan Pesantren Modern “Daarul Ikhsan” pimpinan Drs. H.C. Najdmuddin HS itu dibangun di atas tanah seluas 5 hektar, terletak di Kampung Cimanggu, Desa Ciheulang Tonggoh, Cibadak Kabupaten Sukabumi. Jika sudah selesai pesantren itu diharapkan akan setaraf dengan Pesantren Gontor di Surabaya, Jawa Timur dan akan merupakan pondok pesantren terbesar di Jawa Barat. Bangunan fisik Pondok Pesantren kini baru selesai 10% dari rencana keseluruhan, tapi sudah dapat digunakan proses belajar mengajar oleh sekitar 50 orang santri dengan bantuan tenaga sebagian besar lulusan Gontor.

bandung pos

bandung pos

“Alhamdulillah sebagian besar dana yang terhimpun berasal dari sumbangan pasien yang berobat ke sini selain digunakan untuk pembangunan sarana fisik pesantren, juga untuk biaya operasional pesantren, seperti alat tulis dan honor pengajar,” ujar Ny. Djamilah menjelaskan. Rencana membangun Pondok Pesantren Modern ini sudah lama diimpikannya, tepatnya rencana tahap awalnya pada tahun 1986, sampai sekarang secara bertahap tetap berjalan, hal ini berkat sumbangan amal jariyyah yang diterimanya dari sebagaian besar pasien yang diobatinya.

Pak Abi, panggilan akrab Drs. H. C. Nadjmuddin, kelahiran Sukabumi dan istrinya Ny. Djamilah keturunan Arab Mesir, kelahiran Tegal Jawa Tengah memiliki keahlian mengobati berbagai penyakit, antaranya Tumor, maag, amandel/polip, lemah syahwat/impoten, liver/hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, paru-paru, ginjal, kencing batu, ambeien bahkan HIV AIDS.

Keahliannya ini tidak datang begitu saja, tetapi diperolehnya melalui waktu yang cukup panjang. Diawali dengan penderitaan dan pengalamannya sendiri melawan penyakit maag yang sudah parah.
“Ketika itu tahun 1975, rasanya kami sudah putus asa dalam melawan penyakit suami saya (pak Abi),” ujar Ibu Djamilah, mengenang masa lalunya. Sudah berobat ke mana-mana penyakit itu tak kunjung sembuh lanjutnya. “Dalam kondisi seperti itu kami tetap tawakal kepada Allah Swt dan memohon petunjukNya, sampai akhirnya kami yakin, tidak semata-mata Allah menurunkan penyakit, tanpa menurunkan obatnya. Kepercayaan kami saat itu semakin tebal, penyakit itu pasti dapat disembuhkan,” tutur Ny. Djamilah.

“Pada saat suami saya mendapat tugas belajar ke Kairo, memperdalam hukum Islam, kesempatan itu tidak disia-siakan. Dalam kondisi kesehatan yang mengkhawatirkan itu, kami bertekad untuk mengikuti program itu. Hanya berbekal keyakinan dan tawakal kepada Allah, suami saya berangkat ke Kairo. Hampir tiga tahun di sana (1976-1979),” ujar Ny. Djamilah mantan aktivis HMI itu, mengenang pengalaman suaminya. Dikatakannya, selama di Kairo, selain mendalami hukum Islam, di waktu senggang, ia mencoba mempelajari cara pengobatan tradisional bangsa Arab Mesir dalam mengobati penyakit maag kepada paman istrinya (Paman Ny. Djamilah orang Arab Mesir).

Berobat Sambil Beramal Lewat Pengobatan Tradisional

Berobat Sambil Beramal Lewat Pengobatan Tradisional

Berkat ketekunan dan keyakiannya, ketika pulang ke tanah air, penyakit maag Pak Abi sembuh total. Ia juga dapat mengobati penyakit itu. Mulanya keahliannya mengobati penyakit itu dipraktekkannya di lingkungan keluarga, tetangga, lingkungan kerja di kantor. Dan akhirnya dari mulut ke mulut, keahliannya itu banyak dikenal orang banyak. Tidak hanya penyakit maag, tetapi berbagai penyakit telah disembuhkan. Sudah ribuan orang pasien diobatinya. Tidak terbatas di Jawa Barat saja. Jakarta, Aceh, Surabaya dan orang Sulawesi pernah merasakan elusan tangannya.

Pak Abi tidak mempunyai latar belakang kedokteran. Dalam menjalankan praktek pengobatannya ia tidak menggunakan alat kedokteran, tanpa operasi dan tidak menggunakan obat bahan kimiawi. Dalam melakukan diagnosa (pemeriksaan penyakit) “saya hanya melakukan pijitan melalui tangan dan kaki pasien. Setelah diketahui penyakitnya, istri saya yang memberikan obat ramuan khusus berupa kapsul,” tutur pak Abi menjelaskan. Menurutnya bahan ramuan khusus tersebut ia terima secara rutin dari Arab sana.

Selain sebagai ahli pengobatan, jabatan resmi Pak Abi adalah dosen pada beberapa PTS di Bandung. Ia juga dikenal sebagai Kiai yang sering memberikan ceramah keagamaan di berbagai tempat. Karena predikatnya sebagai kiai itu, setiap mengobati pasien selalu diikuti dengan bacaan do’a, sebagaimana do’anya Nabi Muhammad ketika menengok orang sakit.

Menurut Pak Abi, di dalam menekuni keahliannya itu ia dan istrinya mempunyai tiga misi khusus; Pertama, sebagai kiai, misi dakwah Islam akan diutamakan dalam setiap kesempatan; Kedua, sebagai pendidik, melaksanakan misi pendidikan, betapapun kecilnya ingin ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketiga, memberikan bantuan kesehatan kepada pasien sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
“Ketiga misi ini akan kami pertahankan dan akan selalu mewarnai kegiatan kami,” ujar suami istri mantan aktivis HMI itu bersemangat.

Berpegang kepada misi utama tadi, ia mengajak khususnya kepada masyarakat Jawa Barat untuk ikut memikirkan penyelesaian Pondok Pesantren yang sedang dibangunnya. Insya Allah, jika sudah selesai, masyarakat yang berniat memperdalam ajaran Islam, tidak usah jauh-jauh pergi ke Gontor, Surabaya, tapi cukup di Sukabumi saja, tutur Pak Abi.

Tidak hanya uang sumbangan pasien yang diterimanya tetapi berupa materiapun seperti kayu, bata merah, pasir dan semen pernah ia terima. Rupanya mereka ingin melaksanakan makna “Berobat sambil beramal”. Semesta kenyataan hidup ini adalah kesibukan berbuat menurut Allah SWT, semoga kita pun demikian adanya. Amin. (Asep).

liputan Bandung POS 21 April 1991 halaman 7

liputan Bandung POS 21 April 1991 halaman 7